"Jadi, apa yang terjadi?". Tanyanya dengan santai dengan tangan
kirinya menopang dagu. Menatapku kembali dengan kedua bolanya yang berwarna
hijau terangnya sekali lagi. Aku memejamkan untuk tidak selalu mengingat
bagaimana kedua mata itu melihatku.
"Apanya?". Jawabku sambil menyeruput vanilla latte di hari yang terbilang masih pagi.
"Ayolah. Aku tahu. Pasti ada sesuatu antara kau dan dia".
"Siapa?". Aku berlagak bodoh.
"Kau tahu dengan pasti siapa yang aku maksud, Lauren. Kau sudah hidup seatap dengannya selama 3 tahun ini.".
"Oh..". Aku menundukkan kepalaku. Kedua tanganku yang sedari tadi menggenggam gelas Latte, terlepas begitu saja. Seakan-akan tenaga yang sempat mengalir akibat suntikan coffe itu, menguar begitu saja ketika mengingat orang. Hanya mengingat saja sudah bisa membuat hatiku begitu remuk. Bagaimana bisa dia melakukan itu kepadaku?
"Sudah 3 tahun Lauren". Terdengan nada sedih dan juga kasihan di dalam suaranya itu. Aku tidak tahan lagi. Aku putuskan untuk berdiri.
"Kau sama saja dengannya, Kai". Aku berjalan meninggalkannya tanpa berbalik lagi sekalipun.
Kenapa? Mereka selalu saja membicarakan hal sama. Sudah 3 tahun. Lalu kenapa jika sudah 3 tahun? Apa peduli mereka? Mereka bahkan tidak mengerti apa yang aku rasakan?
3 tahun yang lalu….
“Apa kalian harus benar-benar pergi?”.
“Kami harus pergi sayang. Ada masalah di pabrik yang harus kami tangani sendiri. Kau tahu kan, akhir-akhir ini banyak sekali orang yang tidak bisa dipercaya?”. Jawab wanita 36 tahun itu sambil mengecup kening putrinya dengan penuh sayang.
“Aku tahu, tapi apakah benar-benar harus kalian sendiri yang pergi? Bukankah ada paman Otori di sana?”.
“Sayang, kau akan mengerti ketika kau mempunyai bisnis yang kau bangun sendiri suatu hari nanti”. Kali ini pria yang sedang terburu-buru mengenakan mantel yang menjawabnya. Mereka, pria dan wanita itu, berpakaian seolah-olah mereka akan menghadiri pesta. Tampan dan sangat cantik.
“Tetaplah tinggal. Aku benci di rumah sendirian”.
“Oh… Kau tidaklah sendirian. Bukankah Reo sedang ada di kamarnya?”.
“Reo….”.
“Baiklah. Kami harus benar-benar pergi sekarang. Jaga dirimu baik-baik sayang. Kami mencintaimu”. Dan mereka dengan bergantian mencium pipi putrinya yang akan berusia 18 tahun ketika jam berdentang di angka 12 malam ini.
“Aku juga mencintai kalian..”. Dengan sangat berat melepaskan mereka.
"Apanya?". Jawabku sambil menyeruput vanilla latte di hari yang terbilang masih pagi.
"Ayolah. Aku tahu. Pasti ada sesuatu antara kau dan dia".
"Siapa?". Aku berlagak bodoh.
"Kau tahu dengan pasti siapa yang aku maksud, Lauren. Kau sudah hidup seatap dengannya selama 3 tahun ini.".
"Oh..". Aku menundukkan kepalaku. Kedua tanganku yang sedari tadi menggenggam gelas Latte, terlepas begitu saja. Seakan-akan tenaga yang sempat mengalir akibat suntikan coffe itu, menguar begitu saja ketika mengingat orang. Hanya mengingat saja sudah bisa membuat hatiku begitu remuk. Bagaimana bisa dia melakukan itu kepadaku?
"Sudah 3 tahun Lauren". Terdengan nada sedih dan juga kasihan di dalam suaranya itu. Aku tidak tahan lagi. Aku putuskan untuk berdiri.
"Kau sama saja dengannya, Kai". Aku berjalan meninggalkannya tanpa berbalik lagi sekalipun.
Kenapa? Mereka selalu saja membicarakan hal sama. Sudah 3 tahun. Lalu kenapa jika sudah 3 tahun? Apa peduli mereka? Mereka bahkan tidak mengerti apa yang aku rasakan?
“Apa kalian harus benar-benar pergi?”.
“Kami harus pergi sayang. Ada masalah di pabrik yang harus kami tangani sendiri. Kau tahu kan, akhir-akhir ini banyak sekali orang yang tidak bisa dipercaya?”. Jawab wanita 36 tahun itu sambil mengecup kening putrinya dengan penuh sayang.
“Aku tahu, tapi apakah benar-benar harus kalian sendiri yang pergi? Bukankah ada paman Otori di sana?”.
“Sayang, kau akan mengerti ketika kau mempunyai bisnis yang kau bangun sendiri suatu hari nanti”. Kali ini pria yang sedang terburu-buru mengenakan mantel yang menjawabnya. Mereka, pria dan wanita itu, berpakaian seolah-olah mereka akan menghadiri pesta. Tampan dan sangat cantik.
“Tetaplah tinggal. Aku benci di rumah sendirian”.
“Oh… Kau tidaklah sendirian. Bukankah Reo sedang ada di kamarnya?”.
“Reo….”.
“Baiklah. Kami harus benar-benar pergi sekarang. Jaga dirimu baik-baik sayang. Kami mencintaimu”. Dan mereka dengan bergantian mencium pipi putrinya yang akan berusia 18 tahun ketika jam berdentang di angka 12 malam ini.
“Aku juga mencintai kalian..”. Dengan sangat berat melepaskan mereka.
No comments:
Post a Comment